Semenanjung Arabia, abad kedelapan Masehi, boleh dibilang tempat
dan waktu yang menarik. Pada masa ini peradaban Romawi Kuno mulai lemah
dan runtuh, kekuasaannya tinggal bersisa di wilayah Timur.
Sementara di Asia Barat Islam sedang tumbuh pesat. Sambil lalu pun
sudah terlihat bahwa ini masa transisi geopolitik. Meskipun demikian,
untuk tulisan kali ini, kita akan fokus pada dampaknya yang terkait
ilmiah.
Sebagaimana umum diketahui, tidak ada negara adidaya yang tidak
didukung ilmu pengetahuan. Begitu juga halnya dengan Kerajaan Romawi.
Selama berabad-abad Romawi telah menampung ilmu pengetahuan Yunani dan
Mesir Kuno, sedemikian hingga mereka mempunyai kemajuan teknik yang
mumpuni. Mulai dari arsitektur, pembuatan saluran air, hingga larutan semen dan gelas kaca sudah mereka kuasai. Semua pengetahuan itu kemudian tercermin lewat peninggalan arkeologi. (Taylor, 1957)
Pun demikian, Kerajaan Romawi sudah berdiri selama berabad-abad. Sangat alami bahwa mereka kemudian mulai mundur. Romawi Barat mulai runtuh sekitar abad kelima, sementara Romawi Timur — biasa disebut Byzantium — mencoba melestarikan sebisanya. Akan tetapi memang kebangkitan Islam begitu cepat di Asia Barat, sedemikian hingga mereka jadi tokoh utama sejarah. Byzantium sendiri akhirnya tergusur jadi peran pembantu.
Seiring naiknya kekuatan politik, kaum Muslim tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Justru di bidang ini mereka sangat aktif. Lewat usaha para sarjana berbagai literatur Romawi dicatat dan diterjemahkan. Baik itu filsafat, ilmu alam, hingga medis dan kimia disalin ke bahasa Arab. Perlahan tapi pasti ilmu pengetahuan Romawi diserap dunia Islam.
Adapun di antara para sarjana tersebut adalah Pangeran Khalid Ibnu Yazid. Khalid sendiri bukan ilmuwan, akan tetapi, dia hobi belajar kimia. Oleh karena itu dia mensponsori penerjemahan literatur kimia Romawi. Dukungan dari bangsawan inilah yang — di abad selanjutnya — memuluskan kelahiran bidang ilmu “alkimia”.
Alkimia: Sejarah dan Kelahirannya
Jika Anda suka nonton film, atau pernah baca novel yang melibatkan sosok alkemis, pasti pernah dengar dua hal berikut: “bisa mengubah logam jadi emas”, dan “bisa membuat larutan hidup abadi”. Tesis yang sangat populer ini tak lain buah pikiran kaum Yunani Kuno. Selama berabad-abad banyak pemikir tertarik mewujudkannya. Para ilmuwan Arab, bisa ditebak, juga tertarik.
Memang hal itu sendiri wajar. Sebagaimana sudah disebut literatur ilmiah Arab campur-baur warisan Mesir, Yunani, dan Romawi. Di satu sisi komunitas mereka sudah punya warisan India dan Persia. Akan tetapi di sisi lain, masuknya pemikiran Mediterania benar-benar jadi angin segar, merangsang pertumbuhan intelektual yang pesat. Sedemikian hingga banyak pandangan Islam/Arab terinspirasi olehnya. (Holmyard, 1931, hlm. 44-49)
Dalam suasana intelektual itulah, muncul sosok revolusioner bernama Jabir Ibnu Hayyan. Kelahiran Persia yang belakangan menetap di Kufah, Jabir adalah seorang multiwaskita. Dalam hidupnya dia mempelajari astronomi dan geografi, meskipun begitu, minat terbesarnya adalah bidang kimia.
Alih-alih mengacu takhayul mistik-religius, sebagaimana kaum Hermetik pra-Islam, Jabir lebih fokus mencatat pekerjaan di laboratorium. Boleh dibilang dia abai pada elemen spiritual dan “penyempurnaan-diri” buatan Yunani dan Mesir. Bagi Jabir yang terpenting adalah eksperimen: bagaimana mencampur, memisahkan, dan meleburkan materi. Perkara mistik-religius harus dikesampingkan. (Winter, 1933; Holmyard, 1931, hlm. 56)
Dalam kalimat Jabir sendiri,
Pembaca modern mungkin mengernyit melihat Jabir — seorang ilmuwan hebat — mempercayai mitos transmutasi dan eliksir hidup abadi. Meskipun begitu kita harus ingat bahwa Jabir adalah produk generasi sezamannya. Betapapun motif utamanya menciptakan emas dari logam, akan tetapi jiwanya adalah jiwa ilmuwan. Lebih lagi dalam pencariannya ia mengutamakan semangat ilmiah dan percobaan.
Menariknya adalah, biarpun motifnya questionable, tetapi metode dan penemuan Jabir sangat relevan dengan kita di zaman modern. Bahkan kalau boleh dibilang: jika tak ada Jabir, maka takkan ada ilmu kimia yang kita kenal. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.
Buah Karya Jabir: Dari Eksperimen sampai Mineral
Para sejarawan umumnya sepakat bahwa Jabir berperan besar membuat “buku aturan” ilmu alkimia. Tema yang krusial adalah metode eksperimen. Mulai dari penyulingan, penyaringan, hingga kristalisasi tidak luput dicatat dan diuraikan. Demikian juga dengan kalsinasi dan sublimasi. Jabir adalah ilmuwan yang tekun dan berorientasi-praktek — dalam hal ini, dia tak berbeda dari ahli kimia zaman sekarang.
Meskipun begitu, apakah berbagai metode di atas temuan Jabir, agak kurang jelas. Dia sendiri tak pernah mengklaim penemuan. Akan tetapi Jabir tetap spesial karena dia yang pertama menguraikan semuanya. Catatannya amat detail dan runtut. Hingga berabad-abad kemudian buku teksnya masih jadi rujukan di Arab dan Eropa.
Begitu hebatnya pengaruh Jabir, sedemikian hingga di abad ke-13 Masehi terdapat penulis alkimia yang menjiplak namanya (ini salah satu trik supaya buku banyak dicetak dan dibaca). Karena identitasnya tak jelas di masa kini penulisnya disebut Pseudo-Jabir. Beliau tidak berhubungan dengan pokok bahasan kita, meskipun begitu, tak ada salahnya jika disinggung barang sedikit.
Pseudo-Jabir memiliki empat buah buku alkimia yang — secara aneh — cuma ada versi Latin, tetapi tidak ada naskah Arabnya. Oleh karena itu para ahli menduga nama “Jabir” di situ adalah pemalsuan. Meskipun begitu Pseudo-Jabir memiliki kepahaman alkimia mumpuni. Manuskripnya menjelaskan tentang asam-asaman seperti asam sulfat, asam nitrat, dan aqua regia. Pengetahuan ini jelas menunjukkan otak yang brilian. Amatlah misterius bahwa, alih-alih membanggakan diri, si penulis malah mengatributkan pada Jabir. (Murray, 2001)
Apa alasannya dia berbuat begitu, kita tidak tahu. Akan tetapi itu menunjukkan keluhuran status Jabir sebagai alkemis: karya yang begitu hebat pun masih diatributkan kepadanya.
Penutup: Usaha Sains yang Layak Dihargai
Sebagaimana sudah dibahas, Jabir adalah alkemis yang berangkat dari tradisi kuno. Mengenai hal ini sudah jelas. Ketika Romawi melemah, para sarjana Muslim giat melakukan penerjemahan, akan tetapi sains Romawi sendiri warisan Yunani dan Mesir. Akibatnya bisa ditebak: iklim intelektual Islam ikut terpengaruh. Tidak aneh bahwa ilmuwan Muslim jadi mengadopsi gagasan Yunani dan Mesir yang ‘berbungkus’ Romawi.
Termasuk yang kena pengaruh itu adalah ilmu alkimia. Bahkan sosok empiris-rasional seperti Jabir Ibnu Hayyan pun ikut terpaku pada doktrin purba. Mulai dari mengubah logam jadi emas, ramuan panjang umur, hingga (yang belum disebut) alam semesta terdiri atas empat elemen. Di masa kini kita cenderung menganggap remeh. Akan tetapi, sebagaimana sudah saya tuliskan: betapapun hebatnya para ilmuwan, mereka tetaplah produk zaman mereka hidup. Sangat tidak adil menilai mereka dari perspektif modern. Yang bisa dinilai, barangkali, hanyalah seberapa jauh mereka membawa kemajuan dibanding sekitarnya.
Dalam hal ini Jabir harus dihargai sebagai sosok progresif. Biarpun hidup di dunia yang takhayulan, akan tetapi mampu merumuskan cara pandang ilmiah. Mencoba memperhatikan lewat kacamata eksperimen. Merumuskan teknik-teknik kimiawi yang hingga kini masih relevan, di samping juga menemukan unsur-unsur arsenik, sulfur, dan raksa. Ini, kalau saya boleh menilai, adalah pencapaian yang tidak kecil.
Tentu, kita harus mengakui bahwa motif eksperimen Jabir — dan alkemis pada umumnya — sangat mengawang dan tidak ilmiah. Kasar-kasarnya: masa iya sih pernah ada batu bertuah dan larutan hidup abadi? Akan tetapi yang menarik bukan itu. Menariknya adalah, biarpun landasannya tidak jelas, akan tetapi pemikirannya sistematis. Lebih lagi alkimia memiliki manfaat praktis keseharian, di samping juga menginspirasi sains modern. Benar-benar luar biasa!
Barangkali cukup mengena kalau dirangkum meminjam kalimat Shakespeare: “Though it be madness, yet there is method in it.” Ajaib bukan?
Alkimia mungkin terasa kacau-balau dan bertabur mitos, akan tetapi, dia mewakili era penting perjalanan sains kita. Dan itu adalah hal yang layak dihargai. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Inggris, Francis Bacon:
——
Referensi:
^ Bacon, F. (1605/1893). The Advancement of Learning, IV.11. Coventry: Cassell & Co.
^ Holmyard, E.J. (1931). The Makers of Chemistry. Oxford: Clarendon Press
^ Knight, J. (2001). Jabir Ibnu Hayyan (Geber). dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 297). Farmington Hills, MI: Gale Group
^ Murray, S.R. (2001). The Alchemy of Mineral Acids. dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 281-283). Farmington Hills, MI: Gale Group
^ Taylor, S.F. (1957). A History of Industrial Chemistry. London: William Heinemann, Ltd.
^ Winter, G.E. (1933). Alchemy and The Alchemists. Bull Med Libr Assoc. January; 21(3): 79–88
Contoh kemajuan teknologi Romawi: Botol kaca, dari abad ketiga Masehi(courtesy Metropolitan Museum of Art)
Pun demikian, Kerajaan Romawi sudah berdiri selama berabad-abad. Sangat alami bahwa mereka kemudian mulai mundur. Romawi Barat mulai runtuh sekitar abad kelima, sementara Romawi Timur — biasa disebut Byzantium — mencoba melestarikan sebisanya. Akan tetapi memang kebangkitan Islam begitu cepat di Asia Barat, sedemikian hingga mereka jadi tokoh utama sejarah. Byzantium sendiri akhirnya tergusur jadi peran pembantu.
Seiring naiknya kekuatan politik, kaum Muslim tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Justru di bidang ini mereka sangat aktif. Lewat usaha para sarjana berbagai literatur Romawi dicatat dan diterjemahkan. Baik itu filsafat, ilmu alam, hingga medis dan kimia disalin ke bahasa Arab. Perlahan tapi pasti ilmu pengetahuan Romawi diserap dunia Islam.
Adapun di antara para sarjana tersebut adalah Pangeran Khalid Ibnu Yazid. Khalid sendiri bukan ilmuwan, akan tetapi, dia hobi belajar kimia. Oleh karena itu dia mensponsori penerjemahan literatur kimia Romawi. Dukungan dari bangsawan inilah yang — di abad selanjutnya — memuluskan kelahiran bidang ilmu “alkimia”.
Alkimia: Sejarah dan Kelahirannya
Jika Anda suka nonton film, atau pernah baca novel yang melibatkan sosok alkemis, pasti pernah dengar dua hal berikut: “bisa mengubah logam jadi emas”, dan “bisa membuat larutan hidup abadi”. Tesis yang sangat populer ini tak lain buah pikiran kaum Yunani Kuno. Selama berabad-abad banyak pemikir tertarik mewujudkannya. Para ilmuwan Arab, bisa ditebak, juga tertarik.
Memang hal itu sendiri wajar. Sebagaimana sudah disebut literatur ilmiah Arab campur-baur warisan Mesir, Yunani, dan Romawi. Di satu sisi komunitas mereka sudah punya warisan India dan Persia. Akan tetapi di sisi lain, masuknya pemikiran Mediterania benar-benar jadi angin segar, merangsang pertumbuhan intelektual yang pesat. Sedemikian hingga banyak pandangan Islam/Arab terinspirasi olehnya. (Holmyard, 1931, hlm. 44-49)
Dalam suasana intelektual itulah, muncul sosok revolusioner bernama Jabir Ibnu Hayyan. Kelahiran Persia yang belakangan menetap di Kufah, Jabir adalah seorang multiwaskita. Dalam hidupnya dia mempelajari astronomi dan geografi, meskipun begitu, minat terbesarnya adalah bidang kimia.
Penting dicatat bahwa Jabir orang pertama yang mendalami alkimia secara sistematis, biarpun tak lepas dari mitos. Jamaknya ilmuwan Arab segenerasinya, Jabir percaya pada doktrin transmutasi (membuat emas dari logam). Demikian juga dia berpendapat bahwa eliksir hidup abadi itu ada — hanya belum ketemu saja resepnya. Meskipun begitu dia mempunyai pendekatan gaya baru.Jabir Ibnu Hayyan, sebagaimana digambarkan dalam manuskrip abad pertengahan(via Wikipedia)
Alih-alih mengacu takhayul mistik-religius, sebagaimana kaum Hermetik pra-Islam, Jabir lebih fokus mencatat pekerjaan di laboratorium. Boleh dibilang dia abai pada elemen spiritual dan “penyempurnaan-diri” buatan Yunani dan Mesir. Bagi Jabir yang terpenting adalah eksperimen: bagaimana mencampur, memisahkan, dan meleburkan materi. Perkara mistik-religius harus dikesampingkan. (Winter, 1933; Holmyard, 1931, hlm. 56)
Dalam kalimat Jabir sendiri,
The first essential in chemistry is that thou shouldest perform practical work and conduct experiments, for he who performs not practical work nor makes experiments will never attain to the least degree of mastery. But thou, O my son, do thou experiment so that thou mayest acquire knowledge.Alhasil, tidak berlebihan jika Jabir dianggap pelopor ilmu kimia paling awal. Lebih jauh lagi: dia adalah alkemis empiris-rasional pertama. Jabir-lah yang bertanggung jawab membuat “Alkimia” jadi disiplin ilmu serius. Bukan lagi racik-meracik yang melibatkan mistik spiritual, melainkan murni percobaan.
Scientists delight not in abundance of material they rejoice only in the excellence of their experimental methods.
(Holmyard, 1931, hlm. 60)
Pembaca modern mungkin mengernyit melihat Jabir — seorang ilmuwan hebat — mempercayai mitos transmutasi dan eliksir hidup abadi. Meskipun begitu kita harus ingat bahwa Jabir adalah produk generasi sezamannya. Betapapun motif utamanya menciptakan emas dari logam, akan tetapi jiwanya adalah jiwa ilmuwan. Lebih lagi dalam pencariannya ia mengutamakan semangat ilmiah dan percobaan.
Menariknya adalah, biarpun motifnya questionable, tetapi metode dan penemuan Jabir sangat relevan dengan kita di zaman modern. Bahkan kalau boleh dibilang: jika tak ada Jabir, maka takkan ada ilmu kimia yang kita kenal. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.
Buah Karya Jabir: Dari Eksperimen sampai Mineral
Para sejarawan umumnya sepakat bahwa Jabir berperan besar membuat “buku aturan” ilmu alkimia. Tema yang krusial adalah metode eksperimen. Mulai dari penyulingan, penyaringan, hingga kristalisasi tidak luput dicatat dan diuraikan. Demikian juga dengan kalsinasi dan sublimasi. Jabir adalah ilmuwan yang tekun dan berorientasi-praktek — dalam hal ini, dia tak berbeda dari ahli kimia zaman sekarang.
Meskipun begitu, apakah berbagai metode di atas temuan Jabir, agak kurang jelas. Dia sendiri tak pernah mengklaim penemuan. Akan tetapi Jabir tetap spesial karena dia yang pertama menguraikan semuanya. Catatannya amat detail dan runtut. Hingga berabad-abad kemudian buku teksnya masih jadi rujukan di Arab dan Eropa.
Yang lebih terang adalah penemuan Jabir terkait mineral. Mengenai hal ini tak ada keraguan. Jabir dikatakan sebagai orang pertama yang mengisolasi unsur arsenik, belerang, dan raksa. Lebih lagi Jabir adalah seorang perajin: lewat kepahaman ilmiah dia menciptakan produk-produk praktis seperti pewarna pakaian, tinta fluoresens, pelapis antikarat, dan minyak vernis. (Knight, 2001; Holmyard 1931, hlm. 59)Ilustrasi: Berbagai peralatan eksperimen di era Jabir(via Wikipedia)
Begitu hebatnya pengaruh Jabir, sedemikian hingga di abad ke-13 Masehi terdapat penulis alkimia yang menjiplak namanya (ini salah satu trik supaya buku banyak dicetak dan dibaca). Karena identitasnya tak jelas di masa kini penulisnya disebut Pseudo-Jabir. Beliau tidak berhubungan dengan pokok bahasan kita, meskipun begitu, tak ada salahnya jika disinggung barang sedikit.
Pseudo-Jabir memiliki empat buah buku alkimia yang — secara aneh — cuma ada versi Latin, tetapi tidak ada naskah Arabnya. Oleh karena itu para ahli menduga nama “Jabir” di situ adalah pemalsuan. Meskipun begitu Pseudo-Jabir memiliki kepahaman alkimia mumpuni. Manuskripnya menjelaskan tentang asam-asaman seperti asam sulfat, asam nitrat, dan aqua regia. Pengetahuan ini jelas menunjukkan otak yang brilian. Amatlah misterius bahwa, alih-alih membanggakan diri, si penulis malah mengatributkan pada Jabir. (Murray, 2001)
Apa alasannya dia berbuat begitu, kita tidak tahu. Akan tetapi itu menunjukkan keluhuran status Jabir sebagai alkemis: karya yang begitu hebat pun masih diatributkan kepadanya.
Penutup: Usaha Sains yang Layak Dihargai
Sebagaimana sudah dibahas, Jabir adalah alkemis yang berangkat dari tradisi kuno. Mengenai hal ini sudah jelas. Ketika Romawi melemah, para sarjana Muslim giat melakukan penerjemahan, akan tetapi sains Romawi sendiri warisan Yunani dan Mesir. Akibatnya bisa ditebak: iklim intelektual Islam ikut terpengaruh. Tidak aneh bahwa ilmuwan Muslim jadi mengadopsi gagasan Yunani dan Mesir yang ‘berbungkus’ Romawi.
Termasuk yang kena pengaruh itu adalah ilmu alkimia. Bahkan sosok empiris-rasional seperti Jabir Ibnu Hayyan pun ikut terpaku pada doktrin purba. Mulai dari mengubah logam jadi emas, ramuan panjang umur, hingga (yang belum disebut) alam semesta terdiri atas empat elemen. Di masa kini kita cenderung menganggap remeh. Akan tetapi, sebagaimana sudah saya tuliskan: betapapun hebatnya para ilmuwan, mereka tetaplah produk zaman mereka hidup. Sangat tidak adil menilai mereka dari perspektif modern. Yang bisa dinilai, barangkali, hanyalah seberapa jauh mereka membawa kemajuan dibanding sekitarnya.
Dalam hal ini Jabir harus dihargai sebagai sosok progresif. Biarpun hidup di dunia yang takhayulan, akan tetapi mampu merumuskan cara pandang ilmiah. Mencoba memperhatikan lewat kacamata eksperimen. Merumuskan teknik-teknik kimiawi yang hingga kini masih relevan, di samping juga menemukan unsur-unsur arsenik, sulfur, dan raksa. Ini, kalau saya boleh menilai, adalah pencapaian yang tidak kecil.
Tentu, kita harus mengakui bahwa motif eksperimen Jabir — dan alkemis pada umumnya — sangat mengawang dan tidak ilmiah. Kasar-kasarnya: masa iya sih pernah ada batu bertuah dan larutan hidup abadi? Akan tetapi yang menarik bukan itu. Menariknya adalah, biarpun landasannya tidak jelas, akan tetapi pemikirannya sistematis. Lebih lagi alkimia memiliki manfaat praktis keseharian, di samping juga menginspirasi sains modern. Benar-benar luar biasa!
Barangkali cukup mengena kalau dirangkum meminjam kalimat Shakespeare: “Though it be madness, yet there is method in it.” Ajaib bukan?
Alkimia mungkin terasa kacau-balau dan bertabur mitos, akan tetapi, dia mewakili era penting perjalanan sains kita. Dan itu adalah hal yang layak dihargai. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Inggris, Francis Bacon:
“And yet surely to alchemy this right is due, that it may be compared to the husbandman whereof Æsop makes the fable; that, when he died, told his sons that he had left unto them gold buried underground in his vineyard; and they digged over all the ground, and gold they found none; but by reason of their stirring and digging the mould about the roots of their vines, they had a great vintage the year following: so assuredly the search and stir to make gold hath brought to light a great number of good and fruitful inventions and experiments, as well for the disclosing of nature as for the use of man’s life.”
——
Referensi:
^ Bacon, F. (1605/1893). The Advancement of Learning, IV.11. Coventry: Cassell & Co.
^ Holmyard, E.J. (1931). The Makers of Chemistry. Oxford: Clarendon Press
^ Knight, J. (2001). Jabir Ibnu Hayyan (Geber). dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 297). Farmington Hills, MI: Gale Group
^ Murray, S.R. (2001). The Alchemy of Mineral Acids. dalam Schlager, N. & Lauer, J. (Ed.). Science and Its Times: Understanding the Social Significance of Scientific Discovery, Volume 2, 700-1449 (hlm. 281-283). Farmington Hills, MI: Gale Group
^ Taylor, S.F. (1957). A History of Industrial Chemistry. London: William Heinemann, Ltd.
^ Winter, G.E. (1933). Alchemy and The Alchemists. Bull Med Libr Assoc. January; 21(3): 79–88
No comments:
Post a Comment