Tuesday, August 19, 2014

Pandangan Dunia Malcolm Gladwell


 Di tahun 1994, merek Hush Puppies-sepatu klasik berkulit suede dengan sol ringan dari karet mentah buatan Amerika-terbilang sudah mati ketika penjualannya menurun terus hingga tinggal 30 ribu pasang per tahun. Sepatu ini hanya bisa ditemui di toko dan gerai sederhana di kota-kota kecil. Wolverine, perusahaan pembuat Hush Puppies, sempat berpikir untuk menghentikan produksi sepatu yang pernah membuat mereka amat terkenal itu.


Tiba-tiba, suatu keajaiban terjadi. Di acara pembukaan cabang sebuah rumah mode, dua eksekutif Hush Puppies bertemu seorang perancang mode dari New York. Si perancang bercerita bahwa Hush Puppies klasik mendadak digandrungi para hipster di klub-klub dan kafe-kafe di kawasan pusat bisnis Manhattan. Kedua eksekutif itu tidak percaya sampai akhirnya di sekitar musim gugur 1995 pesanan mulai berdatangan bagai air bah.


Penjualan Hush Puppies melonjak menjadi 450 ribu pasang pada 1995, dan tahun berikutnya melompat empat kali lipat, dan naik terus pada tahun berikutnya. Hush Puppies tiba-tiba saja meledak, padahal awalnya hanya ulah beberapa remaja iseng di East Village dan Soho yang mengenakan sepatu ini dan dua perancang busana melihat mereka. Setelah beberapa waktu nyaris menghilang, sepatu ini mencapai suatu titik popularitas tertentu yang melejitkannya, atau dengan kata lain mencapai tipping point.



Tipping point adalah saat tercapainya massa kritis, ambang batas (threshold), atau titik pergolakan. Konsep inilah yang dipakai Malcolm Gladwell untuk menjelaskan sejumlah fenomena sosial, termasuk menurunnya tingkat kejahatan di lorong-lorong bawah tanah New York City. Gladwell jeli melihat tiga karakteristik yang mendasari meledaknya pemakaian Hush Puppies dan menurunnya kejahatan di kota besar itu. Pertama, sifat menular; kedua, perubahan kecil dapat bermakna besar-ini mengingatkan pada efek kupu-kupu ala Lorenz; dan ketiga, perubahannya bukan bertahap, tapi dramatis.


Keunikan cara pandang Gladwell ternyata bukan hanya berhenti dalam buku pertamanya itu. Bila dalam The Tipping Point (2000), ia menjelaskan bahwa tindakan-tindakan kecil dapat meletupkan 'epidemi sosial'--istilah yang ia beri konotasi positif, dalam Blink (2005) ia menawarkan kehebatan intuitive thinking. Sebenarnya, intuitive thinking bukanlah pikiran yang entah datang dari mana, melainkan pikiran yang muncul dari alam bawah sadar lantaran pengalaman yang tertimbun di dalam otak. Kata Gladwell, kita memberi perhatian terlalu banyak pada "tema-tema besar" dan terlampau sedikit pada "momen-momen selintas."


Meski sukses, buku Gladwell juga tak luput dari kritik. Blink dituding mendemonstrasikan, atau mendorong, orang untuk malas berpikir. Dalam suatu ulasan buku di The New Republic, penulis Richard Posner menyebut Blink sebagai penuh banalitas dan kontradiksi, "ditulis seperti buku yang ditujukan untuk orang-orang yang tidak membaca buku." Namun Blink, sejauh ini, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 25 bahasa.


Apa sesungguhnya yang ingin dicapai Gladwell dengan menulis dua buku ini? "Dalam budaya yang dipenuhi terlampau banyak informasi dan tidak cukup waktu, saya menawarkan bagaimana mengorganisasikan struktur bagi kehidupan banyak orang," ujarnya. Ia berharap, The Tipping Point dapat membantu pembaca memahami bahwa perubahan riil itu mungkin. "Sedangkan dengan Blink, saya ingin agar orang-orang memanfaatkan kekuatan besar intuisi mereka dengan serius," kata Gladwell.


Tujuan ini agaknya cukup tercapai, misalnya saja banyak manajer dan pelaku bisnis yang 'meminjam' cara pandang Gladwell dalam melihat suatu persoalan. Istilah-istilah yang dipakai dalam The Tipping Point pun popular di kalangan pemasar: mavens (pakar di wilayah tertentu), connector (sang penghubung), dan salesman (sang penjaja).


Dua buku pertama Gladwell laris-manis, bukan hanya di Amerika Serikat tapi di pasar internasional. Yang mencengangkan, bahkan untuk buku pertamanya, The Tipping Point, Gladwell menerima US$ 1 juta di muka. Penerbit agaknya mengendus nilai jual naskah ini, dan hingga kini di Negeri Abang Sam saja buku ini laku lebih dari 2 juta eksemplar. Blink pun meraih sukses serupa.


Sebagai jurnalis, kini Gladwell punya karier kedua, yakni menjadi public speaker berkat kesuksesan buku-bukunya. Para eksekutif bisnis mengundangnya untuk berbicara: Google, Microsoft, dan Hewlett-Packard, di antaranya. Ia salah satu dari sembilan orang yang diundang untuk berpidato di World Business Forum, ajang konferensi bagi para eksekutif, dan ia berbagi pentas dengan Rudolph Giuliani, mantan Walikota New York, Jack Welch, mantan CEO General Electric, dan Collin Powell, mantan menteri luar negeri AS, yang diyakini oleh Gladwell sebagai sepupu jauh dari garis ibunya.


Namanya juga tercantum dalam reading list di banyak perusahaan dan sekolah bisnis. Dia diundang berbicara di Akademi Militer West Point dan National Institute of Health. Majalah Time tahun 2005 menempatkannya sebagai salah satu dari "100 orang paling berpengaruh". Stephen Gaghan, penulis skenario, mengembangkan sebuah film yang beranjak dari Blink. Ia juga memperoleh penghargaan Award for Excellence in the Reporting of Social Issues dari American Sociological Association.


Ada yang menyebut Gladwell seperti menciptakan genre nonfiksi tersendiri dan sudah memiliki "pengikut" (New York Times). Misalnya saja, dengan hadirnya sejumlah buku yang terbit dengan "gaya" Gladwell, seperti Freakonomics karya Steven Levitt dan The Wisdom of Crowds-nya James Surowiecki--bahwa kelompok yang bekerja secara kolektif lebih cerdas dan lebih inovatif daripada individu-individu. Gladwell memang memiliki daya naratif yang kuat. Ia mengambil anekdot dari banyak sumber-militer, bisnis, makanan, musik.


Bakat menulisnya mungkin diturunkan dari orangtuanya. Graham, ayah Gladwell yang keturunan Inggris, adalah guru besar teknik sipil di University of Waterloo, Kanada. Ibunya, Joyce, adalah psikoterapis keturunan Jamaika. Gladwell pernah menyebut ibunya, yang pernah menerbitkan buku berjudul Brown Face, Big Master (1969), sebagai role model-nya dalam menulis. Walau lahir di Inggris, Gladwell dibesarkan di Elmira, Ontario, Kanada dan memperoleh gelar sejarah dari Trinity College, University of Toronto, 1984.


Gladwell belajar sejarah di University of Toronto. Begitu lulus, Gladwell sebenarnya ingin bekerja di dunia periklanan, tapi ia tidak memperoleh pekerjaan dan kemudian beralih menjadi jurnalis. Sesudah sempat bekerja di The American Spectator, majalah politik beraliran konservatif, ia bergabung dengan The Washington Post pada 1987. Ia meliput isu-isu bisnis dan sains, dan bekerja sebagai kepala biro New York selama tiga tahun, untuk kemudian bergabung dengan The New Yorker, 1996.


Buku mutakhir Gladwell, Outliers, diterbitkan pada November 2008 dan langsung menyedot perhatian publik. Buku ini, lagi-lagi, memperlihatkan kepiawaian Gladwell dalam melihat fenomena dan mempertautkan fakta-fakta yang kelihatannya tidak saling terhubung--inilah barangkali yang ia sebut "mengorganisasikan struktur", yang orang lain mungkin tidak melihatnya.


Dengan Outliers, yang mengambil contoh kisah sukses The Beatles dan Bill Gates, serta tragedi kejeniusan Chris Langan, Gladwell mengajak pembaca memahami bahwa sukses seseorang dan kelompok bukanlah berkat kerja keras mereka sendiri. Di dalamnya ada kontribusi banyak orang, kesempatan, dan lingkungan.


The Beatles sukses sebab ia berkesempatan tampil 8 jam setiap hari kali 7 hari dalam sepekan, sementara Bill Gates berkesempatan belajar komputer 8 jam setiap hari kali 7 hari dalam sepekan--justru ketika anak muda segenerasinya belum mengenal komputer. Sebaliknya, Langan, dengan IQ 195--jauh di atas Albert Einstein yang "hanya" 150, gagal melanjutkan kuliah karena ibunya alpa mengisi formulir beasiswa. Ia kemudian bekerja sebagai tukang pukul di sebuah bar.


Contoh lain yang dikemukakan Gladwell dalam Outliers ialah pecatur. Untuk menjadi ahli catur yang paling hebat membutuhkan waktu sepuluh tahun. Hanya Bobby Fischer yang legendaris yang mengukir waktu lebih pendek: sembilan tahun. Sepuluh tahun itu, taksir Gladwell, kira-kira setara dengan berlatih sepuluh ribu jam. "Sepuluh ribu jam adalah angka ajaib untuk mencapai kesuksesan," tulis Gladwell.


Hukum "kesempatan, lingkungan, dan kerja keras" itu agaknya juga berlaku bagi dirinya. The Tipping Point bermula dari sebuah artikel yang ditulis Gladwell sebagai penulis lepas untuk The New Yorker. Setelah bergabung dengan The New Yorker, ia malah berkesempatan menggarap buku pertamanya itu--ia dibebaskan dari kerja rutin di majalah ini selama berbulan-bulan. Untuk mewujudkan bukunya, ia dibantu banyak orang: pembaca naskah, kawan yang meminjamkan rumah untuk menulis, periset, dan editor.


Gladwell juga mengaku berutang banyak kepada para akademisi. Dalam catatan akhir The Tipping Point, Gladwell menyatakan bahwa model Tipping Point telah dibahas dalam beberapa karya sosiologi klasik, seperti Micromotive and Macrobehavior (1978) karya Thomas Schelling dan "Threshold Models of Collective Behavior", artikel yang ditulis Mark Granovetter di American Journal of Sociology (1978). Dalam Blink ia mengutip Strangers to Ourselves: Discovering the Adaptive Unconscious (2002), karya psikolog Timothy Wilson, yang oleh Gladwell disebut "inspirasi nyata" dan salah satu buku favoritnya.


Gladwell menulis untuk orang-orang yang disebutnya kaya pengalaman tetapi miskin teori. "Orang-orang sibuk melakukan berbagai hal--berlawanan dengan orang-orang yang asyik duduk-duduk, seperti saya, membaca dan minum kopi di kedai kopi--dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan dan mengorganisasikan pengalaman mereka dan menarik sesuatu darinya," ujarnya. Gladwell, sebenarnya, tidak benar-benar baru dalam melihat suatu fenomena, tapi ia menawarkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan menunjukkan keterkaitan satu fakta dan fakta lain.


Dunia begitu kompleks dan orang hanya memiliki sedikit waktu untuk semua itu. Tentang hal ini, ada satu saran yang disampaikan Gladwell: Jika Anda tidak dapat memahami kompleksitas dunia saat ini, Anda mungkin masih bisa mengambil keuntungan dari menggunakannya. Gladwell telah memainkan perannya membantu kita memahami kompleksitas dunia.

No comments:

Post a Comment