Mempelajari metode meraih pengetahuan yang valid dan justified. dalam meraih pengetahuan ada tiga motede : Metode Aristoteles, metode Francis Bacon, dan metode Sherlock Holmes. Sebelumnya kawan-kawan perlu tahu apa arti dari pengetahuan. apa pengetahuan itu? pengetahuan itu kepercayaan yang teruji, alias justified belief.
Ada perbedaan antara opini, pendapat, gagasan, kepercayaan, dan pengetahuan. Pengetahuan itu mesti memiliki publisitas, maksudnya, khalayak publik bisa menerimanya. pengetahuan tidak hanya kepercayaan dan pandangan pribadi, makanya pengetahuan itu memiliki derajat di atas kepercayaan karena pengetahuan itu kepercayaan yang teruji dan terbukti.
Pengetahuan itu tidak bisa sembarangan.
Suatu hal menyedihkan sekali, saya mengamati banyak orang yang berdebat
bukan di derajat pengetahuan, tapi mereka berdebat di tataran
kepercayaan. Jika demikian, niscaya kita tidak bisa menyelesaikan
perkara. Memiliki kemampuan untuk bisa membedakan pengatahuan dengan
opini dan kepercayaan itu sangat penting agar tidak banyak terjadi debat
kusir yang meanless. Sebuah argumentasi yang kuat dibangun dari
pengetahuan, bukan kepercayaan dan asumsi. kita harus memastikan argumen
kita kuat dan memiliki dasar pengetahuan yang valid dan terjustifikasi
sehingga hidup ini berpijak pada kesejatian, bukan kesemuan.
Aristoteles adalah seorang murid Plato.
ketika muda, tepatnya ketika ia berumur 23 tahun, dia belajar di
Akademia. Untuk belajar di Akademia, calon pelajar mesti menguasai
Matematik dan Geometri dengan mahir, jika Matematik dan Geometrinya
jelek, pelajar itu akan ditendang keluar dari sekolah yang tak memiliki
pintu itu.
Kenapa Matematik dan Geometri itu begitu
penting? Ini akibat dari pemikiran idealis Plato. Menurut Plato, dunia
itu dualis, ada dunia ide dan dunia empiri. Ide bersifat niscaya
kebenarannya, kebenaran a priori yang tidak membutuhkan pengalaman.
Dengan mengandalkan rasio kita akan sampai pada ide yang pasti dan tak
akan berubah. contohnya adalah 1 + 1 = 2. dari jaman Plato sampai
sekarang hasil perjumlahan dari 1 + 1 = 2. Pengetahuan model a priori
berbeda dengan pengetahuan kita yang berubah-ubah hasil dari pengamatan,
misalnya ketika kita melihat sebuah pohon yang masih pendek, beberapa
tahun kemudian pohon tersebut lebih tinggi dari tinggi kita, pengetahuan
kita tentang pohon itu berubah, bukan? Tadinya terlihat pendek,
beberapa tahun kemudian menjadi pohon yang tinggi. lalu timbul sebuah
pertanyaan, Pohon yang mana yang benar dan hakikat? Pohon ketika ia
pendek atau ketika ia tinggi? Plato berpendapat, kita tak bisa berpijak
pada suatu yang berubah dan impermanen. Pada akhirnya Plato mendikotomi
secara hierarkis kedua pengetahuan tersebut. Dia mengutamakan
pengetahuan a priori yang niscaya dibanding empiri yang kontingen, maka
dari itu Plato sangat mementingkan Matematik dan Geometri.
Setelah belajar beberapa lama pada
Plato, Aristoteles berbeda pendapat dengan gurunya. menurut dia suatu
hal yang kurang tepat jika kita mengesampingkan dunia empiri, empiri
juga sangat penting untuk bisa mendapat pengetahuan. Pindahlah
Aristoteles dari Akademia. Pengetahuan yang dia dapat dari Plato tidak
ia lupa. Dari cara berpikirnya Plato yang mengutamakan rasio,
Aristoteles menulis sebuah buku berjudul Organon. Organon itu artinya
alat, maksudnya, rasio itu penting sebagai alat mendapat pengetahuan.
buku tersebut memuat kaidah-kaidah berpikir yang kita kenal dengan
Logika. Dalam logika, cara berpikir yang dipakai adalah deduksi. Deduksi
ini artinya pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum ke yang khusus.
Deduksi ada dua, langsung dan tidak langsung. contoh dari deduksi langsung seperti berikut
Sebuah proposisi “Semua manusia akan mati”. memiliki kesimpulan kontradiktoris “Sebagian manusia tidak akan mati”
Deduksi tidak langsung menggunakan silogisme. Memakai Premis Mayor dan Premis Minor, lalu ditarik kesimpulan. Misalnya
Semua manusia akan mati
Ginan adalah manusia
Jadi, Ginan akan mati.
Ginan adalah manusia
Jadi, Ginan akan mati.
Dengan metode deduksi kita mendapat
pengetahuan yang pasti, tapi setelah waktu berjalan, deduksi mendapat
banyak kritik. Menurut para kritikus, logika deduksi ini sangat formal.
memang, kita bisa mendapat kesimpulan yang valid tapi metode deduksi
seolah tidak peduli dengan kenyataan empiri. Kita hanya melihat aspek
formal semata, tanpa menghiraukan material (isi dari premis).
Selain itu, logika deduksi pun memiliki
paradox. Misalkan ketika saya berkata “Sekarang saya sedang berbohong”
timbul sebuah pertanyaan “Bagaimana cara mendeduksinya? jika kamu
menyimpulkan perkataan saya benar, berarti saya itu bohong. Jika kamu
menyimpulkan perkataan saya salah, maka berarti saya tidak bohong,
padahal saya berkata, saya ini bohong, sebuah paradoks!
Kekurangan yang fatal dari deduksi adalah dia mengacuhkan isi.
Semua Mahasiswa Filsafat UI menyukai dangdut
Ginan Mahasiswa Filsafat UI
Ginan menyukai dangdut
Secara formal silogisme ini shahih dan valid, tapi secara material, apa benar semua Mahasiswa Filsafat UI menyukai dangdut? Mungkin saja tidak! Mungkin ada beberapa orang yang menyukai lagu rock atau heavy metal, kita tidak tahu. Maka dari itu deduksi sering disindir sebagai Dua buah kebohongan yang menghasilkan satu kebenaran.
Kritik yang menohok lainnya bagi deduksi
adalah anggapan bahwa deduksi itu tidak menghasilkan pengetahuan baru.
Apa yang dihasilkan deduksi memang rasional, shahih, dan valid, tapi so
what? Ginan akan mati? Semua orang sudah tahu, tak perlu kita
menggunakan silogisme.
Dari abad ke 3 SM sampai abad ke-15,
metode deduksi ini digunakan untuk meraih pengetahuan, hingga pada
akhirnya Francis Bacon, Sang pembaharu, menulis buku berjudul Novum
Organon, yang memiliki arti ‘alat yang baru’. Dia melahirkan metode
induksi. Metode ini adalah jawaban bagi metode deduksi yang mengabaikan
aspek material.
Induksi adalah menentukan yang tidak teramati dari yang teramati. Misalkan begini, ada deretan angka
110 1110 110 1110 110 1110 110 1110 110 1110 ….
Angka berapa selanjutnya?
Lanjutannya adalah 110. Dari mana kita
bisa tahu padahal titik itu tidak teramati oleh kita? kita bisa tahu
hasil tersebut dari pengamatan kita terhadap angka-angka sebelumnya.
Induksi menjanjikan pengatahuan yang
baru, karena dengan pengamatan kita bisa menghadirkan prediksi yang
tepat. Ilmu itu dianggap tinggi atau rendah tergantung dari tingkat
keakuratan prediksinya. Filsafat, sejarah, dan sastra adalah ilmu yang
dianggap rendah belakangan ini karena mereka tidak memiliki kemampuan
prediktif.
Induksi dipakai hingga sekarang untuk
menemukan penemuan-penemuan baru. Newton menemukan teori gravitasi
universal dengan metode ini. Dia mengamati setiap benda jatuh pasti
tertarik ke Bumi, maka ia menyimpulkan bahwa semua benda pasti akan
jatuh ke Bumi, lahirlah teori gravitasi.
Sama halnya dengan deduksi, induksi
memiliki kelemahan. Dia sangat rentan terhadap falsifikasi karena apa
yang kita amati jauh lebih sedikit dari apa yang tidak teramati.
Bagaimana jadinya jika sesuatu yang tidak teramati berlawanan dengan
pengamatan kita selama ini? Tentu hasil penyimpulan kita menjadi gugur.
Misalkan kita mengamati 100 angsa,
ternyata 100 angsa yang kita amati itu berwarna putih, maka kita
menyimpulkan semua angsa itu berwarna putih. Ini sesungguhnya amat
gegabah. Kita hanya mengamati 100 angsa, padahal masih ada jutaan angsa
yag belum kita amati. Bagaimana jika suatu ketika kita menemukan angsa
berwarna hitam? Maka hasil pengetahuan induksi tersebut runtuh. Dengan
demikian, meruntuhkan induksi hanya membutuhkan satu anomali. ini
membuktikan induksi sangat rentan. Fisika, kimia, dan biologi diklaim
sebagai ilmu yang mapan dan pasti, tapi rentan hancur bagai sarang
laba-laba, bisa rusak oleh satu anomali.
Metode yang terakhir dalam meraih
pengetahuan yang valid adalah dengan metode Sherlock Holmes. Tokoh fiksi
hasil karya dari Sir Arthur Conan Doyle. Nama metode ini adalah abduksi, yaitu Mengambil kesimpulan dari sesuatu yang memiliki paling sedikit asumsi.
Abduksi ini sebenarnya sudah digagas oleh William Ochkam. Dia menyebutnya parsimony,
alias simplicity. Metode abduksi memilih best explaination sebagai
sebuah kesimpulan yang bisa kita jadikan pengetahuan, ketika eksplanasi
itu menjelaskan dengan sempurna, maka eksplanasi itulah yang diambil
mejadi kesimpulan.
Misalnya dalam kasud di Sleman beberapa
waktu yang lalu. Ada sekelompok orang yang mengendarai truk, mereka
menutup wajah dengan kupluk dan membawa senjata api. Di antaranya ada
yang membawa AK 47, granat, dan senjata laras pendek. Mereka masuk ke
sebuah lapas dengan sangat taktis dan cekatan, di hadapan sipir mereka
memperlihatkan tanda bahwa mereka dari Kopasus. Mereka membunuh para
tersangka yang ditahan karena membunuh seorang Kopasus beberapa hari
yang lalu dari kejadian. Setelah membunuh mereka langsung keluar dan
pergi dengan sangat cepat, mereka membawa semua rekaman CCTV. Oprasi
yang mereka dijalankan sangat rapih. Ini kejahatan tingkat dunia. Ada
segerombolan orang membunuh di dalam lembaga pemasyarakatan. Ngeri
banget.
Muncul sebuah pertanyaan, Siapa pelakunya?
Argumen pertama, jelas yang melakukan
kopasus. Sudah jelas gerombolan punya keterkaitan kasus dan motif
dengan pembunuhan Kopasus beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dengan
adanya AK 47, mungkin juga brimob yang melakukan, tetapi Kopasus
beralibi, tidak mungkin dari Kopasus karena semua anggota Kopasus pada
malam kejadian sedang apel dan tidak ada yang keluar kawasan upacara
apel tersebut. Sedangkan TNI mengklaim, tidak ada militer yang terlibat,
lalu menuduh pada sipil.
Jika disederhanakan, ada dua kemungkin
pelaku : Pertama, pelakunya adalah sebuah satuaan. Kedua, pelakunya
adalah warga sipil.Jelas, jika menggunakan metode abduksi, kita akan
mengambil satuan sebagai pelaku, karena itulah yang memiliki sedikit
asumsi. Jika kita memilih warga sipil sebagai pelaku, kita membutuhkan
penjelasan yang lebih. Penjelasan tentang bagaimana mereka mendapatkan
senjata? Bagaimana mereka bisa melakukan oprasi taktis yang membutuhkan
keahlian khusus seperti itu? Dan banyak lagi yang mesti diberikan
penjelasan, sangat berbelit dan tidak efektif. Metode abduksi akan
menyimpulkan Kopasuslah yang melakukan itu, Jadi abduksi mengambil yang
paling simpel dan masuk akal sebagai argumentasi yang kuat.
Begitulah kiranya 3 metode meraih
pengetahuan yang valid dan justified. ketiga metode tersebut bukan
metode yang terpisah-pisah. Kita bisa menggunakannya dengan
berkesinambungan dan sesuai kebutuhan. Tidak ada metode yang paling
baik, masing-masing memiliki kekurangan. jika metode tersebutndigunakan
dengan tepat, mereka bisa saling melengkapi.
Jika kita ingin berpikir dengan canggih. Pakailah 3 metode ini. Semoga bermanfaat dan…..
Selamat menjadi seorang detektif!
No comments:
Post a Comment