Tuesday, August 19, 2014
Sisi Lain Founding Fathers Indonesia : Haji Agus Salim, Jenius Dan Eksentrik
Rosihan Anwar, kerap menyebut para founding fathers asal Minangkabau sebagai seorang yang gilo-gilo baso (nyentrik atau gendeng dalam istilah Jawa). Hal ini berdasarkan pengamatannya selama bergaul dengan tokoh-tokoh tersebut, sejak zaman pergerakan hingga masa kemerdekaan. Jika diperhatikan dan diinap-inap, perkataan jurnalis kawakan itu ada benarnya. Penulis mencatat, hampir keseluruhan para pendiri bangsa yang berasal dari ranah Minang, memang memiliki sikap yang eksentrik. Sebut saja misalnya Tan Malaka, yang gila berkelana demi kemerdekaan Indonesia sampai lupa menikah. Hatta yang selalu tepat waktu, tak mau terlambat barang semenit-pun. Mohammad Yamin, seorang ahli mitos yang asik mendalami budaya-budaya kuno. Atau Buya Hamka yang keranjingan menulis, hingga melahirkan puluhan buku agama, filsafat, sejarah, dan cerita fiksi. Satu lagi tokoh Minang yang eksentrik adalah Haji Agus Salim. Setidaknya, politisi yang dijuluki Orang Tua Besar (The Grand Old Man) itu, memiliki tujuh karakter nyentrik.
1. Ulama Rasional Panutan Para Santri
Ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari cara Agus Salim melakukan dakwah. Diantara yang cukup menonjol adalah berpikir rasional dalam menyikapi pesan-pesan agama. Misalnya dalam hal puasa yang mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal di Amerika, Salim selalu sahur jam 4 subuh dan berbuka jam 7 malam. Padahal sesuai waktu setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam. Dalam perkara ini, Salim melakukan ijtihad dengan berpuasa mengikuti kebiasaan di Indonesia. Salim juga berpendapat bahwa wine boleh diminum asal tidak memabukkan. Hal ini diperoleh dari keterangan Emil Salim yang dikutip Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan (Agustus 2013). Menurut Emil : “Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak”, begitu penjelasan putra Bey Salim (adik Agus Salim) ketika diwawancarai wartawan Tempo. Satu lagi tindakan Salim yang dirujuk banyak ulama hingga sekarang adalah dibukanya tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan, ketika berlangsung musyawarah Jong Islamieten Bond (JIB). Menurutnya tabir itu merupakan produk budaya Arab – bukan Islam, simbol penindasan terhadap kaum perempuan.
Meski sikap Salim cenderung nyeleneh dan bertentangan dengan banyak ulama ketika itu, namun ia tak dicap menganut aliran liberal. Malah pemikirannya itu kemudian, banyak dipuji oleh tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif. Kita bisa memahami kedalaman ilmu Agus Salim, karena ia sempat berguru selama lima tahun di Hejaz, Arab Saudi. Salah satu ulama yang mempengaruhi cakrawala pemikirannya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga merupakan pamannya. Dari ulama tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama mengenai fikih Islam.
2. Pemimpin yang Mau Hidup Miskin
Haji Agus Salim merupakan sedikit dari pemimpin bangsa yang mau hidup susah. Jika saja ia mau meneruskan pekerjaannya sebagai konsulat Belanda di Arab Saudi, mungkin Salim tak akan hidup melarat. Pada awal abad ke-20 Salim sudah beroleh gaji sangat besar, 200 gulden per bulan. Menurut budayawan Ridwan Saidi, gaji itu sangat besar untuk ukuran orang Melayu. Sebagai perbandingan, sebuah keluarga dengan satu istri dan tiga anak, saat itu dapat hidup layak hanya dengan 15 gulden per bulan. Namun Salim meninggalkan itu semua, dan memilih menjadi aktivis Sarekat Islam (SI).
Ketika menjadi aktivis SI, Salim juga menjabat sebagai pemimpin redaksi “Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro-rakyat. Oleh para pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim tak mempunyai pendapatan tetap. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Mohammad Roem, aktivis JIB yang sering bertandang ke rumah Salim menceritakan, bahwa rumahnya di Tanah Tinggi – Jakarta Pusat, berada di kawasan becek. Ia juga pernah tinggal di Jatinegara, yang mana keluarga Salim hanya menempati satu ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan. Terakhir ia mondok di Jalan Gereja Theresia No. 20, Menteng, tempat dimana ia menghabiskan masa tuanya.
3. Mendidik Anak Tanpa Sekolah Formal
Karakter ini boleh jadi tak dimiliki oleh pemimpin bangsa lainnya, yang hidup sezaman dengannya. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh-tokoh bangsa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi. Malah banyak pula yang menyekolahkannya hingga ke mancanegara. Namun Salim berbeda dengan yang lain. Bukan karena ia tak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya, namun ia beranggapan sekolah kolonial tak membuat anak mandiri. Prinsip Agus Salim sama seperti halnya Mohammad Syafei, pendiri INS Kayutanam. Bedanya Syafei membangun sekolah dengan kurikulum mandiri, sedangkan Salim mengajarkan anak-anaknya sendiri.
Menurut Siti Asiah, putri Agus Salim, ketujuh anaknya itu tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal, kecuali si bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq. Salim bersama istrinya Zainatun Nahar-lah, yang mengajarkan anak-anaknya secara bergantian. Pendidikan ala keluarga Salim, biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan. Menurut Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatje dan maatje (panggilan untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Selain itu ayahnya juga pandai berhumor, sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka.
Pendidikan home schooling ala Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia mengharamkan memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “menjadi orang”. Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri tertuanya Dolly – yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. Sedangkan putranya, Islam Besari Salim, terjun di dunia militer dan sempat menjadi atase militer Indonesia di China.
4. Humoris yang Intelek
Agus Salim merupakan seorang intelektual yang humoris dan seorang humoris yang intelek. Pada saat menjadi pimpinan Sarekat Islam, Salim sering berseberangan dengan anggota yang beraliran komunis. Ia kerap kali dicerca dan diejek oleh pengikut SI berhaluan kiri. Dalam salah satu kesempatan di podium, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing, dan Agus Salim yang mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin : “Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim berpidato, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara, pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”
Kisah yang lain. Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Meski diejek oleh banyak orang, namun Salim tak kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”
Satu lagi humor Agus Salim yang diingat orang ialah ketika ia diundang makan malam. Pada acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan tangannya. Seorang Eropa terkesima dengan tindakan tersebut dan langsung menegur, “Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah tersedia sendok”. Salim lantas menjawab, ”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah masuk ke mulut banyak orang.” Begitulah beberapa cuplikan humor intelek khas Agus Salim.
5. Menguasai Banyak Bahasa Asing
Agus Salim adalah sedikit dari orang Indonesia yang fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa Minang yang menjadi bahasa ibunya, Salim juga menguasai Bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia juga menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda. Karena penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan pemerintah mewakili Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun 1947, ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya Salim memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Hasilnya, Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success Amerika Serikat. Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia pergi bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan Ir. Djuanda.
Kefasihan Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang Indonesianis George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Belakangan, tokoh yang terkenal jago omong itu menjadi Perdana Menteri di negerinya. Melihat keduanya asik berdebat dalam Bahasa Prancis, Kahin begitu terperangah. Namun ia lebih terperangah lagi, ketika melihat Diem terpana mendengarkan kata-kata Agus Salim.
6. Pendebat yang Kritis
Dalam suatu pertemuan, penulis pernah mendengar kesan seseorang yang mengatakan bahwa orang Minang itu suko maota, pandai maota, dan lamak maota (suka bicara, pandai bicara, dan enak ketika berbicara). Dari sifat itulah kemudian tumbuh sifat inklusif dan egaliter pada kebanyakan pribadi Minangkabau. Seperti laki-laki Minang yang suka maota di lapau, Agus Salim juga tangkas dalam bersilat lidah. Kepiawaian ini berguna sekali ketika ia menjadi wartawan, diplomat, dan politisi. Dalam sidang Volksraad misalnya, Salim pernah berbantah-bantahan dengan Bergmeyer tentang kata ekonomi. Hal ini bermula ketika Salim tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan maksud mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Melayu” Bukannya menjawab, ia lantas membalas pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang sama, “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam Bahasa Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang sidang.
Ketika menulis di berbagai media, sering pula ia menggunakan keahliannya itu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia pernah menulis : “dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”. Tulisan ini untuk mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat inlander. Kemudian di harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi dan rakyat : “sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …” Demikian goresan pena Salim, yang dimuat di beberapa media terbitan Hindia-Belanda.
7. Guru yang Tak Menggurui
Menurut pendapat banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan mentor yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga merupakan tipikal guru yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu menyerahkan kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicara. Mohammad Natsir salah satu murid binaannya pernah menuturkan : “ketika sulit memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan, para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu mereka memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim yang berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak menyinggung solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi mana jawabnya? Agus Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada pada Saudara-saudara, karena ini persoalan generasi Saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya (sambil menunjuk anaknya yang masih kecil). Jikalau saya menggendongnya terus, kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh tapi ia akan beroleh pengalaman dari situ” (Ridwan Saidi dalam buku 100 tahun Agus Salim).
Karena kurang setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Menurutnya kultus individu terhadap guru akan membuat umat menjadi jumud. Alih-alih ingin membebaskan orang sesuai pesan Islam, taklid buta malah membuat umat semakin bodoh dan jauh dari nilai-nilai agama
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment