Saturday, August 23, 2014

Oppenheimer, Antara Atom, Komitmen Ilmuwan dan Prometheus


Alamogordo, terletak di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat, bukan sebuah kota besar. Meskipun demikian itu tidak membuatnya gagal terlibat dalam sejarah.

Pada tanggal 12 Juli 1945, sebuah gurun di wilayah itu terpilih jadi situs uji ledak bom atom pertama di dunia. Ujicoba itu diberi nama “Trinity“. Detik-detik yang menentukan terjadi menjelang subuh: hampir saja acara dibatalkan, sebab badai petir tak kunjung usai. Meskipun begitu cuaca akhirnya kondusif, dan percobaan jalan terus.

Tepat pukul 5:30 pagi, seberkas kilat muncul di cakrawala, terlihat hingga 200 kilometer jauhnya. Cahaya putih memenuhi langit. Udara mendidih. Pasir melepuh berubah menjadi kuarsa. Satu menit kemudian: bunyi ledakan maha dahsyat menyebar, bersama dengannya membawa debu, tanah, dan berbagai serpihan hewan dan tumbuhan. Udara terionisasi membentuk awan ungu. Petir terlontar susul-menyusul. Letusan bom atom pertama sudah terjadi — dan begitu mengerikan.

Inilah ujicoba Trinity, buah dari megaproyek milyaran dolar bernama “Proyek Manhattan“. Sepanjang periode 1942-1945, ribuan personel sipil dan militer berkejaran dengan waktu, berharap agar mereka tidak kalah cepat dari Nazi Jerman. Sebagaimana dicatat sejarah, mereka berhasil. Kesuksesan Trinity sekaligus menandai dimulainya era energi nuklir.

Reaksi yang sebelumnya hanya ada di matahari dan bintang kini terwujud di bumi. Manusia telah mampu mengolah energi atom.
Trinity Test Explosion
Bola api Trinity, 0.05 detik sesudah ledakan
(photo credit: Atomic Archive)
Meskipun demikian, layaknya penemuan besar, Trinity tidak datang — dan pergi — tanpa kontroversi. Dia dilahirkan oleh para pemikir paling cemerlang semasa Perang Dunia II. Ironisnya adalah bahwa banyak di antara mereka, para ilmuwan itu, justru kecewa dan menolak berurusan dengannya. Termasuk di antaranya sosok yang akan jadi tema tulisan kali ini.


Ibaratnya Trinity seperti bayi terlahir sungsang. Dia dibutuhkan sebagai senjata perang, akan tetapi, dia sulit mendapat tempat di dunia yang damai. Mengenai hal ini akan kita lihat di bagian selanjutnya.


Kontroversi dari Los Alamos

Satu hal yang harus diakui adalah bahwa, betapapun mengerikan, pencapaian Trinity bersifat monumental. Hal itu tak bisa disangkal. Meskipun demikian bukan berarti dia bebas kritik.

Direktur Ujicoba Trinity sendiri, Kenneth Bainbridge, menyebutnya “foul and awesome display”. Ahli fisika Leo Szilard khawatir akan dampak yang ditimbulkannya di masa depan. Bahkan sejak awal Niels Bohr — sesepuh fisika kuantum — berkampanye pentingnya kontrol nuklir oleh badan pengawas internasional.

Meskipun demikian, sosok paling menentukan dalam kontroversi itu adalah J. Robert Oppenheimer. Profesor dari California ini, sepanjang periode 1942-1945, menjabat sebagai Direktur Laboratorium Los Alamos, pusat riset fisika Proyek Manhattan. Dapat dibilang bahwa dia bertanggungjawab mengawasi — dan mengarahkan — para ilmuwan Amerika dalam mendesain bom atom.

Oppenheimer sendiri adalah sosok yang enigmatik. Sebagaimana sudah disebut, dia memimpin proyek penciptaan bom. Akan tetapi di sisi lain, dia juga sadar dampak bahayanya. Bom atom bukan saja dapat membunuh, radiasinya juga merusak lingkungan. Secara moral Oppenheimer terpengaruh oleh Bohr: di masa depan, senjata nuklir harus dikontrol oleh badan internasional. Amat naif mengharapkan negara tidak gegabah memakainya.

Pandangan itu membuat Oppenheimer mengadakan diskusi kebijakan nuklir di Proyek Manhattan. Gayung bersambut: banyak sejawatnya yang setuju. Inilah cikal-bakal kampanye nuklir untuk perdamaian, secara ironis, dimulai di tempat kelahiran bom atom sendiri.

Akan tetapi ilmuwan tetaplah ilmuwan, bukan politisi. Tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di Hiroshima, menewaskan puluhan ribu orang. Tiga hari kemudian, giliran Nagasaki jadi korban. Pasukan Sekutu menang perang. Dalam waktu singkat nuklir memasuki militer. Meskipun begitu perdebatan telah dimulai — dan akan terus meruncing.
* * *
Sementara itu di dunia sipil, kemenangan Sekutu disambut hangat oleh rakyat. Berita penemuan bom atom membuat orang kagum. Kini sains dipandang sebagai sesuatu yang “wah”. Mendadak ilmuwan Proyek Manhattan jadi terkenal: mereka dielu-elukan oleh media.

“Para Prometheus Modern telah menyerbu Olympus dan membawa pulang Halilintar Zeus,” demikian klaim majalah Scientific Monthly, menyitir legenda Yunani. Prometheus dalam legenda Yunani adalah sosok yang memberikan api pada umat manusia. Reaksi nuklir yang sebelumnya cuma ada di matahari kini tercipta di bumi. Sebagaimana api Prometheus menyelamatkan manusia dari kedinginan dan kelaparan, “api” energi nuklir telah menyelamatkan dunia dari kehancuran.

“Para fisikawan kini mengenakan jubah Superman,” majalah Life menimpali. Era baru dimulai di mana nuklir jadi semacam buzzword, dan para penemunya jadi pahlawan. Yang paling terkenal, sudah tentu, figur tertinggi Los Alamos: J. Robert Oppenheimer.

Bersama dengan topi bundar favorit, dalam waktu singkat wajah Oppenheimer mengisi koran dan majalah. Dia kini menjadi figur yang — meminjam penulis biografi di kemudian hari — layak disebut “American Prometheus”.
Oppenheimer by Alfred Eisenstaedt, 1947
Oppenheimer dalam foto publikasi untuk Majalah Life, 1947

Menentang Senjata Nuklir

Sebagaimana telah disebut, biarpun aktif menciptakan bom, banyak ilmuwan Los Alamos yang anti senjata nuklir. Mereka bergabung ke Proyek Manhattan karena ingin melawan Nazi. Pasukan Nazi membawa ideologi totaliter dan rasis, maka pembuatan bom dapat dijustifikasi. Setidaknya demikian pendapat yang umum.

Akan tetapi mereka kurang cepat. Ketika Trinity meletus, pasukan Sekutu sudah siap menduduki Berlin. Akhirnya kalkulasi politik yang berperan. Bom atom harus dijatuhkan melawan Jepang demi setidaknya dua alasan. Pertama: untuk menunjukkan pada Soviet bahwa Amerika punya senjata hebat, dan kedua: mempercepat penyerahan diri Jepang tanpa syarat. Penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki akhirnya lebih sebagai paksaan diplomasi.

Keputusan itu membuat Oppenheimer, Bapak Bom Atom, berang. “Ini senjata mengerikan yang membuat perang jadi mustahil,” dia menyembur. Beberapa hari kemudian dia menulis laporan pada Menteri Luar Negeri Harry Stimson.
“Kami [para ilmuwan Los Alamos] meyakini bahwa tidak ada perlindungan efektif melawan bom atom . . . keamanan negara — berbeda dengan kemampuan tempur — tak bisa hanya mengandalkan teknik atau ilmiah. Keselamatan hanya bisa dijamin jika tak ada perang di masa depan.”

(Bird & Sherwin, hlm. 317-18)
Dalam hal ini Oppenheimer ingin pemerintah menyadari bahayanya situasi nuklir tak terkontrol. Laporan itu tidak dibalas.

Tak ingin kecolongan, Oppenheimer mengatur pertemuan dengan Presiden Harry Truman. Ia ingin Truman memprakarsai badan pengawas atom internasional. Kekhawatiran itu ditanggapi dingin; Truman tak percaya bahwa Soviet, atau negara lain, dapat membuat bom atom seperti Amerika. Pendapat yang terbukti salah besar.

Blunder itu membuat Oppenheimer mencibir Truman seumur hidup. Memang dia sudah tak suka sejak awal. “Jika Roosevelt arsitek besar, maka Truman seorang tukang kayu,” komentar pedas Oppenheimer. Dua figur itu akan berseberangan hingga ke liang kubur.
* * *
Gagal mempengaruhi pemerintah dari dalam, Oppenheimer memutuskan langsung ke masyarakat. Dua tulisannya diterbitkan di New York Times Magazine dan Bulletin of Atomic Scientists, membahas bahaya perang nuklir. Dalam talkshow bersama Eleanor Roosevelt, dia mengkritik kebijakan luar negeri AS. Adapun sebuah klaim yang mencolok muncul saat dia berpidato di kampus MIT.
“Dengan satu atau lain cara, tidak ada ungkapan vulgar, humor, atau hiperbola yang bisa menghilangkan perasaan . . . Bahwa ahli fisika telah mengenal dosa, dan kesadaran itu takkan dapat hilang.”

(Bird & Sherwin, hlm. 388)

Bentukan Masa Lalu

Ada sebabnya Oppenheimer jadi orang yang, kalau boleh dibilang, semangat ingin “menyelamatkan dunia”. Hal itu tak lepas dari didikan masa kecil. Dia berasal dari keluarga Yahudi-Jerman, meskipun begitu orangtuanya sangat sekuler, mempercayai filosofi humanis Felix Adler. Latar belakang ini membuat dia dimasukkan Ethical Culture School, institusi pendidikan yang diprakarsai Adler. Bersekolah di situ membuat Oppenheimer kecil terpapar nilai etika dan keadilan sosial.

Nilai keadilan sosial itu akhirnya mewarnai pribadi Oppenheimer. Di saat Amerika terkena Depresi, Oppenheimer menyaksikan demo buruh dan guru di dekat kampus, membuat dia tersentuh. Saat itu posisinya profesor di Universitas Berkeley. Persinggungan itu membuat Oppenheimer tertarik pada komunisme, sedemikian hingga pada 1936, dia rajin menghadiri diskusi Partai Komunis Amerika Serikat.
Sejujurnya agak ironis bahwa Oppenheimer mendukung gerakan kiri. Dia dilahirkan pada keluarga kaya. Ayahnya, Julius Oppenheimer, seorang pedagang kain, sementara ibunya Ella seorang pelukis. Keberhasilan usaha sang ayah, didukung kepahaman seni sang ibu, membuat rumah mereka diisi karya seni mahal. Tidak tanggung-tanggung: keluarga Oppenheimer tercatat pernah memiliki lukisan karya van Gogh, Cézanne, dan Renoir.
First Steps, after Millet, by van Gogh (1890)
Salah satu lukisan yang pernah dimiliki keluarga Oppenheimer:
First Steps, after Millet (van Gogh, 1890)
Secara alami, dibesarkan dalam keluarga seperti itu, Oppenheimer mengembangkan sisi flamboyan. Sejak muda dia suka musik klasik dan puisi. Selera pada sastra membuat dia belajar enam bahasa secara mandiri, termasuk di antaranya Sanskerta (Oppenheimer sangat terinspirasi oleh Bhagavad Gita). Lebih lagi dia seorang yang royal dan pencinta: di masa muda dia hobi berkencan dan memberi hadiah pada gadis yang diincar. Dia bahkan pernah punya perahu pribadi untuk berlayar seputaran pantai New York. Muda, kaya, jenius, dan perlente: Oppenheimer di masa itu adalah seorang sosialita.

Bahwa orang macam itu kemudian bersimpati pada buruh, dan lantas mendukung Partai Komunis, memang cukup mengagetkan. Akan tetapi harus dicatat bahwa Oppenheimer tak pernah resmi jadi anggota partai; ibaratnya dia cuma “numpang main”. Adapun perhubungan itu membuat Oppenheimer jadi punya banyak teman komunis. Di antaranya sahabat bernama Chevalier; Jean Tatlock yang kemudian menjadi pacar; serta gadis keturunan bangsawan Jerman Katherine “Kitty” Puening (belakangan akan menjadi istri).
Menjelang tahun 1940, Oppenheimer sangat akrab dengan lingkar komunis Berkeley. Hal ini kelak akan menghantui hidupnya.

“Diseret” ke Kaukasus

Bahwa Oppenheimer simpati pada komunis, hal itu diketahui militer. Itu juga sebabnya dia susah masuk Proyek Manhattan. Partai Komunis Amerika berafiliasi dengan Komintern Uni Soviet; menunjuk Oppenheimer jadi anggota jelas beresiko.

Oppenheimer sendiri bukannya tidak sadar. Di satu sisi, memang dia tertarik komunisme, tetapi di sisi lain, dia juga seorang patriot. Dia geram melihat laju fasisme di Spanyol dan Jerman. Semangatnya ikut Proyek Manhattan karena ingin “mengubur Franco dan Hitler dalam satu lubang”. Menyadari langkahnya akan sulit Oppenheimer memutuskan menjauh dari lingkar pergaulan komunis.

Selama berbulan-bulan perdebatan maju-mundur di kalangan pejabat. Situasi baru jelas setelah Jenderal Leslie Groves, pimpinan Proyek Manhattan, memberi kata putus: Oppenheimer adalah orang yang cocok, dan dia bisa dipercaya. Pada bulan Oktober 1942 Oppenheimer resmi menjabat Direktur Los Alamos.
Keputusan itu datang dengan satu harga. Sebagian tentara antikomunis menolak mempercayai Oppenheimer, mereka lalu menempatkannya di bawah pengawasan. Bahkan tak kurang ruang kantornya sendiri disadap (tindakan ini dilakukan tanpa surat izin).

Dilanda badai kecurigaan bukan berarti jadi masalah. Nyatanya Oppenheimer tetap fokus menjalankan tugas. Sebagaimana telah diceritakan di awal, akhirnya misi mereka sukses: bom atom berhasil dibangun dan diledakkan. Proyek Manhattan kini dikenang sebagai pencapaian manusia dalam sejarah. Akan tetapi kisruh antara Oppenheimer dan pemerintah Amerika baru dimulai.
Oppenheimer & Groves
Jenderal Leslie Groves dan Oppenheimer di situs ujicoba Trinity.
Groves termasuk militer yang mempercayai Oppenheimer.
(photo credit: Atomic Archive)
Memasuki tahun 1950, Amerika Serikat dilanda histeria menolak komunis. Senator bernama Joe McCarthy mengumumkan bahwa terdapat mata-mata komunis dalam instansi pemerintah. Pengumuman itu lalu berkembang jadi tuduhan pada tokoh publik, termasuk di antaranya, selebritis Hollywood.

Dalam hal ini Oppenheimer termasuk yang kena getah. Biarpun reputasinya mentereng, dia adalah figur politik yang banyak musuh. Dua di antaranya Lewis Strauss, politisi konservatif, dan Edward Teller, fisikawan pengembang bom hidrogen. Mereka berseberangan dengan Oppenheimer karena Oppenheimer menolak senjata nuklir: baik Strauss maupun Teller percaya bahwa Amerika perlu senjata militer terbaik untuk mengimbangi Soviet.

Oppenheimer sendiri sesudah perang menyatakan berpisah dengan komunisme. Dia diceritakan telah melihat laporan intelijen kehidupan Uni Soviet, dan itu membuatnya kecewa. Begitupun gosip tetap bertiup: bahwa “Bapak Bom Atom” Amerika diam-diam komunis dan hendak menghancurkan negara.

Begitu seriusnya tuduhan itu hingga Direktur FBI J. Edgar Hoover setuju agar rumah dan kantor Oppenheimer disadap. “Mereka membayar lebih besar untuk menyadap saya, daripada saya digaji di Los Alamos,” seloroh Oppenheimer dengan sinis. Toh kecurigaan itu tak terbukti. Jikapun ada percakapan dengan orang berhaluan kiri, itu lebih karena mereka teman pribadi.

Namun kehidupan beranjak makin berat bagi Oppenheimer. Bulan Desember 1953, ia mendapat kabar mengagetkan: statusnya sebagai ilmuwan top secret akan dicabut. Ia diminta hadir pada persidangan Komite Energi Atom yang kini, secara mengejutkan, diketuai oleh Lewis Strauss.

Izin keamanan itu amat penting bagi Oppenheimer, ibaratnya “kunci pintu” ke dunia politik. Di masa lalu dia dapat briefing langsung kepada Presiden. Dengan izin keamanan itu juga dia membangun relasi dengan para pejabat Departemen Luar Negeri. Kini mendadak semua akan buyar — dia akan diisolasi secara politik.
Dalam mitologi Yunani, Prometheus diceritakan memberi api pada manusia, didapat dengan mencuri halilintar Zeus. Kelakuan itu membuat Zeus marah: Prometheus kemudian ditangkap dan diseret ke Kaukasus, dirantai selama ribuan tahun. Hukuman Zeus amat kejam: dia memerintahkan Elang datang dan memangsa hati Prometheus setiap siang. Di malam hari hati Prometheus akan tumbuh kembali, dan esoknya, Elang akan datang dan memakan lagi.

Demikian pula dengan Oppenheimer, dia akan diseret ke Kaukasus oleh pemerintah Amerika. Penemu bom atom kini akan disidang oleh tuannya sendiri.

Terkapar di Meja Hijau

Ada alasannya Oppenheimer “ditarget” begitu rupa. Di tahun 1953, intensitas Perang Dingin mencapai puncak, menyusul maraknya ujicoba nuklir Uni Soviet. Oppenheimer, dengan sejarah komunisnya, telah berkampanye agar Amerika tidak memproduksi senjata nuklir. Otomatis timbul kecurigaan bahwa diam-diam Oppenheimer ingin Amerika kecolongan, tidak punya senjata, sementara Uni Soviet maju pesat.
Sentimen itu ditolak mentah-mentah oleh ilmuwan, terutama alumni Los Alamos. Masalahnya tak ada bedanya seribu — atau sepuluh ribu — hulu ledak nuklir dimiliki Amerika atau Soviet. Masing-masing punya seratus buah saja barangkali sudah cukup. Katakanlah Amerika diserang Soviet, dan lalu membalas tembakan, maka seluruh dunia akan terpengaruh. Bukan saja korbannya mereka berdua, melainkan seluruh planet.

Alhasil, tidak aneh bahwa saksi meringankan Oppenheimer banyak dari kalangan ilmiah. Kampanye antinuklir Oppenheimer tidak relevan dengan tuduhan mengkhianati negara.

Meskipun demikian Komite yang digawangi Strauss tidak habis akal. Melalui hasil penyadapan ilegal, mereka mempertanyakan sisi-sisi pribadi Oppenheimer. Semua detail kehidupan — termasuk tuduhan selingkuh dan homoseksual — dilontarkan susul-menyusul. Barangkali akhirnya tekanan mental sampai juga pada Oppenheimer, sebab dalam satu sesi tanya-jawab, dia menyembur pada penuntut: “Ya, benar, sebab saya seorang idiot.”

Proses persidangan berlangsung selama beberapa minggu. Selama itu pula kondisi Oppenheimer makin tertekan. Di samping menyiapkan pembelaan, dia juga harus menghadapi media massa (dalam hal ini dia banyak dibantu kuasa hukum). Meskipun begitu pukulan menyakitkan terjadi menjelang akhir.

Pada umumnya bekas ilmuwan Los Alamos bersaksi mendukung Oppenheimer. Meskipun begitu selalu ada pengecualian. Tanggal 28 April 1954, Edward Teller, mantan anak buah Oppenheimer semasa perang, bersaksi memberatkan.
“Saya tahu Oppenheimer orang yang sangat intelektual dan rumit, dan saya pikir, akan meleset jika saya mencoba menganalisis motif-motifnya. . . .
“[Akan tetapi dari] tindakannya yang saya lihat, saya akui bahwa saya sulit memahami. Kami berseberangan dalam beberapa hal . . . menimbang perbuatan sejak 1945, maka saya bilang, cukup bijak untuk tidak memberi izin keamanan [pada Oppenheimer].”

(Bird & Sherwin, hlm. 533-534)
Kesaksian ini menimbulkan amarah di dunia fisika, dan kelak, Teller akan membayar mahal. Dia dianggap sebagai oportunis yang meletakkan politik di atas integritas keilmuan. Bahkan empat puluh tahun kemudian, ketika dia merekrut orang untuk proyek “Perang Bintang” Reagan, masih banyak rekan sejawatnya yang antipati.

Apapun yang terjadi, seluruh prosedur persidangan selesai pada tanggal 5 Mei. Putusan akhir diambil oleh panel terpisah, dan menetapkan bahwa: (a) Oppenheimer “setia pada negara, tetapi membawa resiko keamanan” dan (b) Izin keamanan Oppenheimer harus dicabut. Pada akhirnya rangkaian peristiwa berakhir seperti diduga, walau bukan tanpa perlawanan.

Sentimen yang mengena diberikan oleh Ward Evans, anggota panel yang mendukung Oppenheimer:
“Bahwa kita menyangkal izin keamanan yang telah diberikan padanya pada tahun 1947, di mana resikonya sekarang lebih kecil [sesudah dia meninggalkan lingkar komunis], bukanlah prosedur yang dianut oleh negara bebas . . .
“. . . kealpaan dalam memberi Dr. Oppenheimer izin keamanan akan jadi noda hitam di lambang negara kita.”

(Bird & Sherwin, hlm. 541-542)
Meskipun demikian, nasi telah menjadi bubur. Oppenheimer kini menjadi pinggiran dunia politik. Transkrip persidangan kemudian dirilis ke publik pada bulan Juni 1954.

Menepi dan Menutup Diri

Uniknya, biarpun citra politik Oppenheimer jatuh, popularitasnya justru naik di dalam dan luar negeri. Seorang temannya berkomentar bahwa sidang Oppenheimer mirip kisah Galileo. Harper’s Magazine membandingkannya dengan Alfred Dreyfus, opsir tentara Prancis yang dituduh bersekongkol dengan Jerman. Baik Oppenheimer maupun Dreyfus adalah keturunan Yahudi dan diperlakukan tidak adil oleh negara; kesamaan ini segera menjadi perhatian. Di Jerman transkrip persidangannya menginspirasi pertunjukan teater; di Prancis, tiga tahun kemudian, dia dianugerahi medali Legion d’Honneur.

Secara umum Oppenheimer mendapat banyak dukungan, termasuk surat bernada positif. Toh itu tidak banyak menghibur. Oppenheimer sekarang cenderung pendiam. Dia masih sering membahas nuklir, akan tetapi minat berpolitik sudah hilang. Dia bahkan tidak ikut menandatangani Manifesto Russell-Einstein yang terkenal.
 
Diabaikan jasanya sebagai pahlawan perang, lebih lagi di bidang yang ia pelopori, Oppenheimer akhirnya menepi dari ruang publik. Dia kemudian memutuskan tinggal di pulau kecil bersama keluarga, sembari di sana-sini memberi wawancara. Sedikit pengobatan luka hati — kalau boleh dibilang begitu — datang pada tahun 1963. Presiden Lyndon Johnson memberikan anugerah Fermi Award beserta uang tunai US$ 50.000, mengakui jasa-jasanya di masa lalu. Terkesan terlambat dan setengah hati, sebab izin keamanan tetap tidak dipulihkan. Toh Oppenheimer tak ambil pusing.
 
Semua sudah terjadi, sisa hidupnya relatif tenang. Oppenheimer menghabiskan waktu bersama keluarga sebelum wafat oleh kanker di tahun 1967. Dia meninggalkan seorang istri, Kitty, serta dua anak bernama Peter dan Toni.

Penutup: Sang Prometheus Amerika

Ada peristiwa menarik yang terjadi menjelang sidang Oppenheimer, yang diingat oleh diplomat senior George Kennan. Saat itu Kennan berujar pada Oppenheimer bahwa, jika keadaan menjadi gawat, ada banyak pusat riset luar negeri yang bersedia menampungnya. Pernahkah dia, Oppenheimer, coba mempertimbangkan emigrasi?

Jawaban yang disampaikan Oppenheimer amat singkat, tapi menyentuh: “Damn it, I happen to love this country.”

Respon itu bukan membual. Bahkan sejak muda, Oppenheimer sangat mencintai tanah air — literal maupun kiasan. Jamaknya koboi di dunia Wild West, Oppenheimer hobi berkuda menyusuri New Mexico. Dia keturunan Yahudi-Jerman, akan tetapi dia lebih senang budaya country Amerika. Dia bahkan suka mengundang teman untuk menginap di ranch. Barangkali bukan kebetulan bahwa Oppenheimer kemudian jadi suka memakai topi bundar — walau memang bukan topi koboi betulan, melainkan porkpie.

Bahwa lokasi Laboratorium Los Alamos juga terdapat di New Mexico, itu juga berkat dia. Memang Oppenheimer sendiri yang memilih tempat. Dia sangat terpukau oleh bukit datar yang menghadap puncak gunung, di mana salju tak kunjung cair bahkan hingga bulan April. Pilihan itu menyisakan warisan: di masa kini Los Alamos terkenal sebagai pusat riset fisika dunia.
Los Alamos aerial view
Laboratorium Nasional Los Alamos di masa kini.
(photo credit: Flickr / LosAlamosNatLab)
Semua pengalaman itu akhirnya membuat Oppenheimer jadi sosok yang cinta tanah air — atau malah, kelewat cinta. Bahkan sesudah diperlakukan tak adil pun dia masih jadi warga negara AS. Terkait hal itu Albert Einstein punya komentar.

“Masalahnya dengan Oppenheimer,” kata Einstein, “dia mencintai perempuan yang tidak mencintainya balik — pemerintah Amerika Serikat.”

Mungkin benar bahwa Oppenheimer agak naif. Bukan berarti itu hal yang buruk, toh patriotisme juga yang mendorong dia jadi produktif. Melamar masuk Proyek Manhattan, mengarahkan riset di Los Alamos, hingga akhirnya menyaksikan keberhasilan ujicoba Trinity. Di kemudian hari rasa tanggung jawab mendorongnya berkampanye menolak senjata nuklir. Akhirnya pilihan itu yang membuat dia jatuh: maksud hati hendak menjaga keselamatan, apa daya, justru dituduh berkhianat.

Pencipta sekaligus pencegah senjata nuklir; cinta negara tapi dirongrong pemerintah; menatap masa depan tapi digagalkan masa lalu. Ironisnya niat dan perjuangan untuk bangsa tidak berbuah manis.

Oppenheimer sendiri, ketika ditanya tentang sidang yang mengubah hidupnya, menjelaskan sebagai berikut.
“Saya memandangnya seperti sebuah kecelakaan, ada kereta terguling atau bangunan yang runtuh. Tidak ada hubungan dengan kehidupan pribadi. Saya cuma kebetulan berada [di tempat yang salah].”

(Bird & Sherwin, hlm. 552)
Barangkali tidak sepenuhnya jujur. Akan tetapi kita tak pernah tahu.


——
Referensi:

Bird, K., & Sherwin, M. J. (2005). American Prometheus: the triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. New York: A.A. Knopf.
Kelly, C. C. (Ed.) (2006). Oppenheimer and the Manhattan Project: insights into J. Robert Oppenheimer, “Father of the atomic bomb”. Singapore: World Scientific.
Rhodes, R. (1986). The making of the atomic bomb. New York: Simon & Schuster.

No comments:

Post a Comment